PPCBlogger

Bebas Bayar

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

Zuhud dan Qanaah



Pengertian zuhud sangat dekat dengan wara’. Secara sederhana kedua hal tersebut didefinisikan seperti berikut ini. Zuhud adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya. Sedangkan Wara adalah meninggalkan apa saja yang bisa membahayakan kehidupan seseorang. Dari kedua pengertian tersebut, posisi zuhud lebih tinggi derajatnya dibanding dengan wara.

Sementara itu, Qanaah adalah menerima apa adanya yang diberikan Allah Swt. serta tidak menginginkan menjadi orang yang kaya. Sifat inilah sifat paling utama yang harus dimiliki seorang muslim yang menuntut ilmu. Oleh kerana itu, hendaklah kita menjadi orang yang qanaah kerana sifat ini adalah sebaik-baik bekal bagi seorang Muslim.


Dalam kitab Fadhilah Sedekah, sebuah hadits menyebutkan, Dari Ali ra., Rasulullah saw, bersabda, “Barang siapa ridha kepada Allah dengan rezeki yang sedikit, maka Allah akan meridhainya dengan amal-amalannya yang sedikit,” (Baihaqi – Misykat).

Pada hadits ini, terdapat pernyataan bahwa kekurangan rezeki adalah suatu ihsan (kebaikan) khusus dan sebagai peringatan dari Allah Swt. (yang mana jika seseorang ada kekurangan dalam amalnya, maka Maha Pemilik akan memaafkan kekurangan tersebut dan meneriimanya. Sebaliknya jika seseorang itu menerima banyak pemberian dari Allah Swt. dan ia tidak rela jika kekurangan, maka yang Maha Malik pun akan berbuat hal yang sama. Dalam menyempurnakan hak-hak-Nya, Dia tidak akan rela dengan kekurangan yang ada. Hal ini jelas, bahwa jika seseorang pekerja meminta gajinya agar dibayar, namun ia sangat kurang dalam melayani majikannya, maka patut bagi tuannya untuk melupakan kebaikannya. Berbeda dengan keadaan kita, ketika sebagian orang di antara kita hidup dalam kemiskinan, maka mereka akan mendapat taufik untuk mendekati Allah, juga dapat meluangkan masa untuk berdzikir dan shalat nafil. Tetapi ketika mereka berubah menjadi kaya, maka mereka tidak senoat lagi, walaupun untuk shalat fardhu.

Rasa puas dengan rezeki yang sedikit, hanya dapat dinikmati jika seseorang itu mementingkan lima hal :

1.      Mengurangi perbelanjaan. Tidak berbelanja melebihi keperluan Alim ulama menulis bahwa seseorang yang sendiri hanya memerlukan satu set pakaian tanpa perlu membeli banyak pakaian. Dan ia dapat hidup hanya makan roti dengan lauk biasa. Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah menjadi miskin orang yang membelanjakan hartanya dengan sederhana.”

2.      Meyakini janji Allah. Sekiranya ada rezeki sekadar keperluan, maka ia tidak memikirkan rezeki untuk masa berikutnya.ia meyakini janji Allah, bahwa Allah telah bertanggung jawab untuk member rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Syetan selalu berusaha untuk menjerumuskan manusia dengan berbagai pemikiran, misalnya dengan penyakit, khawatir masalah keuangan, dan sebagainya agar manusia merasa harus membuat persiapan; jika tidak, maka ia akan menanggung kesusahan. Setelah syetan berhasil dengan membisikkan tipuan seperti ini, maka syetan pun akan mengejeknya dengan berkata, “Demikian bodoh orang ini, mengapa ia sangat takut dengan kesusahan di masa yang akan datang yang belum tentu terjadi, sehingga ia mau bersusah payah sekarang!” Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud, angan biarkan banyak kebimbangan menguasai dirimu. Apa yang sudah ditakdirkan, pasti akan terjadi. Rezeki yang sudah diatur untukmu pasti akan kamu terima.” Nabi saw. juga bersabda, “Allah Swt. memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari sumber yang tidak pernah terlintas dalam sangkaannya.” Di dalam al Quran pun terdapat ayat yang menyatakan sepeti itu.

3.      Membayangkan kemuliaan istighna’ (merasa puas dengan rezeki walaupun sedikit) dan kehinaan thama’ (rakus). Dengan membayangkan betapa besar kemuliaan istighna’ dan betapa besar kehinaan thama’ dihadapan manusia kaan menghasilkan sifat qana’ah (merasa cukup). Patut dipikirkan secara mendalam, bahwa dari kedua jenis kesusahan itu, seseorang harus memiliki salah satunya: pertama, kesusahan karena kehinaan mengulurkan tangan di hadapan manusia; atau kedua kesusahan atas diri sendiri karena menahan nafsu dan kelezatan benda.

4.      Memikirkan bagaimana akibat orang-orang kaya yang cinta dunia dan orang-orang yang mengikuti cara hidup seperti Yahudi, Nasrani, dan orang-orang yang tidak beragama. Juga memikirkan keadaan dan akibat yang dinikmati oleh para Nabi dan wali Allah. Jadi hendaknya hikayat-hikayat mereka dibaca dan diteliti. Kemudian tanyakanlah kepada nafsu sendiri, apakah lebih suka mengikuti kelompok orang yang dekat dengan Allah, atau ingin menyerupai orang-orang Budha dan orang-orang yang tidak beragama itu?

5.      Memikirkan dengan mendalam segala yang telah diterangkan sebelum pembahasan ini, yakni mengenai berlebihan harta, besarnya musibah yang ditimbulkannya. Apabila seseorang senantiasa memikirkan hal itu, maka ia akan bersikap qana’ah atas miliknya yang sedikit itu akan menjadi mudah.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah saw. Bersabda, “sungguh beruntung seorang yang telah memeluk islam, lalu ia diberi rezeki sedikit, namun Allah mengaruniakan kepadanya sifat qana’ah (berpuas hati dengan rezeki sedikit).”

Dari Abu Darda ra., Rasulullah saw. Bersabda, “Setiap hari ketika matahari terbit dikedua belahnya terdapat malaikat yang berseru, “Wahai manusia, tawajjuhlah kepada Rabb Pemelihara kalian! Harta yang sedikit dan mencukupi keperluan adalah lebih baik daripada harta banyak tetapi menyibukkan seseorang kepada selain Allah.”

Wallahu a'lam bishawab.

No comments:

Post a Comment